Setiap pagi nampak antrian pembeli bubur ayam di hampir semua tempat di perkotaan Jakarta. Mulai dari anak sekolah, pekerja/pegawai kantor, para lansia, ibu muda yang memilik anak batita, dan semua penikmat sarapan pagi praktis memesan bubur ayam hangat/panas. Mereka adalah pelanggan regulernya. Makanan segar, panas, dan dilengkapi berbagai bahan seperti suwiran ayam, kacang kedelai, irisan cakwe, sate jeroan (bagi penggemar khusus), beserta krupuk/emping mudah disiapkan. Tidak lebih dari lima menit para pedagang dengan gesit mempersiapkan dan mengemasnya. Ada pula yang langsung makan ditempat. Dengan harga Rp. 10.000 - Rp.11.000 per bungkus/mangkuk pelanggan dapat menikmati sarapan pagi bubur ayam gerobak yang bertebaran di kota Jakarta. Pedagang bubur ayam gerobak memperoleh pendapatan kotor rata-rata 1 juta/hari. Dari pengamatan 6 pedagang kecil bubur ayam yang kapasitasnya sama dan berlokasi di wilayah yang sama mereka hanya membutuhkan 3-4 jam waktu menjual 50-100 bungkus/mangkuk bubur per hari. Apakah pengalaman usaha kecil dan pendapatan bagus seperti ini terjadi juga di kota-kota lainnya?
Usaha kecil menjanjikan dan perlu dipertimbangkan di perkotaan





Beragam selera masyarakat khususnya diperkotaan menikmati sarapan pagi. Bubur ayam panas atau hanyat adalah salah satu makanan pagi yang banyak digemari warga kota. Selain enak, praktis, dan mudah diperoleh bubur ayam juga merupakan makanan yang tidak pernah membosankan untuk dikonsumsi. Ia hampir sama dengan makanan harian seperti nasi. Apalagi bagi keluarga muda yang memiliki anak batita dan balita, alternatif memesan bubur ayam dari pedagang jalanan jauh lebih efisien dibanding dengan memasaknya sendiri.
Menurut informasi dari pedagang bubur ayam jalanan, mereka sudah mempersiapkan bubur nasi sejak malam hari beserta segala bumbu perlengkapannya. Pagi hari mereka hanya mendorong gerobaknya ke lokasi strategis di sudut jalan atau pinggir jalan yang biasa dilalui oleh pelanggan. Setiap jam 6 atau 7 pagi mereka sudah berada di tempat jualan dengan kompor yang menyala kecil agar bubur tetap hangat.
Pada hari-hari tertentu mereka kewalahan menerima pesanan dari pegawai kantor sehingga kadang kala persediaan bubur cepat habis hanya dalam waktu 2-3 jam saja. Penghasilan 1 juta dalam beberapa jam saja sudah bisa mereka dapatkan.
"Modalnya sih sekitar 300-400 ribu perak" cerita Kiwal yang berbagi pengalamannya. Awalnya dia sudah pernah mencoba berbagai macam jenis dagangan kuliner. Akhirnya dia memilih dan bertekun pada usaha bubur ayam. Demikian pula lima pedagang lainnya memiliki pengalaman serupa dalam perjuangan berusaha diperkotaan. Ada yang memulainya dari kuli bangunan, pedagang kelontong, pedagang kue dan makanan lainnya.
Berusaha dengan menjual bubur ayam memang cukup menjanjikan. Ke enam pedagang yang sudah berkeluarga ini sungguh menikmati kesejahteraan bagi keluarganya atas hasil usaha kecilnya. Masalah kebutuhan sehari-hari keluarga dan pendidikan anak mereka dapat teratasi. Bahkan merekapun sudah memiliki tabungan keluarga yang memadai untuk kebutuhan lainnya. Di kala liburan panjang seperti Lebaran mereka bisa menikmati kebersamaan keluarga di kampung halaman dan sekaligus membeli tanah tambahan untuk memperluas ladang atau persawahan mereka.
Usaha kecil yang menjajikan ini memang terbukti nyata di perkotaan seperti Jakarta. Apakah usaha sejenis berkembang juga di kota lainnya tentu kita perlu mengeksplorasinya lebih luas lagi. Namun pengalaman aktual yang terjadi pada pengusaha kecil bubur ayam di Jakarta ini dapat dijadikan acuan awal untuk memulai langkah berusaha. Selamat mencoba dan sukses.