SBN.
Pagi saya dikejutkan berita kematian KH Hasyim Muzadi. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang tidak asing bagi saya. Perjalanan almarhum semenjak jadi Ketua NU Jawa Timur sampai jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden saya ikuti. Malah saya berhubungan langsung dan erat dengan beberapa organisasi di bawah NU pada tahun 90an sampai 2000an. Kedekatan yang terjadi memungkinkan saya menjadi mengenal karakter kolektif orang NU dan organisasi di bawahnya.
Hari ini saya memikirkan kematian dan merujuk kitab Pengkhotbah yang jadi pegangan soal kematian. Dituliskan bahwa nama harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran. Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia, hendaknya orang yang hidup memperhatikannya”.
Selamat jalan Pak Hasyim Muzadi. Kau telah meninggalkan nama harum dan telah menunaikan tugas kehidupan yang telah diberikan dengan sebaik-baiknya. Semoga kau kembali padaNya dalam damai.
Bagi saya yang masih hidup mengingatkan kembali bahwa saya juga akan menempuh jalan yang sama. Saya tidak mau menyesali apa yang tidak saya lakukan ketika saya bisa melakukannya. Karena itu saya akan melakukan apa yang seharusnya saya lakukan dengan gembira. Bergembira dalam melakukan sesuatu, hukumnya adalah wajib.
Jadi kita tidak perlu memikirkan halangan yang menghadang. Katanya:”Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai. Sebagaimana engkau tidak mengetahui jalan angin dan tulang-tulang dalam rahim seorang perempuan yang mengandung, demikian juga engkau tidak mengetahui pekerjaan Allah yang melakukan segala sesuatu”. (esh)