SBN.
Saya belajar banyak soal korban dalam konsep psikologi dan sosiologi. Yang mendorong saya belajar sungguh-sungguh soal ini adalah pengalaman pribadi. Saya punya pengalaman sebagai korban diskriminasi etnis, agama dan gender di level keluarga, masyarakat dan negara.
Pengalaman sebagai korban itulah yang membuat saya tertarik dan ditarik untuk bekerja di urusan ini, dengan bekerja untuk penjaja seks perempuan, orang yang terinfeksi HIV dan anak-anak korban eksploitasi seksual/trafficking. Juga saya terpapar dengan pengalaman diskriminasi yang dialami waria, gay, lesbian, dan kelompok lain.
Siapa saja, saya kira pernah punya pengalaman sebagai korban baik dalam bentuk ringan sampai dengan yang parah. Hasil pekerjaan melakukan pendampingan tidak memuaskan saya sama sekali. Mentalitas korban begitu kuat. Akibatnya tidak konsentrasi melakukan transformasi mental melalui inner power yang dimiliki tetapi mengembangkan pemikiran kritis ke faktor di luar untuk minta dikasihani.
Saya bermimpi korban-korban yang kami dampingi bisa melakukan transformasi diri seperti korban lain yang bisa membuktikan berhasil keluar dari situasinya. Korban eksploitasi dan pelecehan seksual yang berhasil seperti Oprah Gail Windfrey.
Ada 3 kata kunci yang membedakan yakni korban, survivor dan striver/pejuang untuk menang. Cerita pendampingan korban di Indonesia terlalu dominan nuansa korban. Andaikata korban yang kita dampingi dibantu bertransformasi menjadi striver maka saya yakin akan muncul cerita kemenangan yang menggetarkan.
Transformasi menjadi survivorpun wacana, metode dan program kurang nampak. Kita begitu berharap pada negara untuk melindungi korban terus menerus. Padahal negara saat ini kepeduliannya masih di tingkat formalitas dan memenuhi tuntutan konvensi PBB yang telah ditandatangani.
Berdasarkan seluruh pengalaman dan studi yang saya lakukan kalau kita ingin menjadikan korban menjadi manusia produktif yang berkontribusi pada pembangunan peradaban maka kita harus punya wacana, metode dan program yang menjadinya sebagai seorang pemenang/striver.
Caranya bagaimana? Setiap orang termasuk para korban harus memiliki misi yang jelas, terukur dan memang milik dirinya. Misi ini yang akan membuat loncatan dan transformasi. Pengalaman menjadi korban menyediakan lahan untuk melatih intuisinya.
Di dunia internasional wacana yang dikembangkan adalah survivor. Memang lebih baik ketimbang korban. Survivor menggerakkan inner powernya untuk bisa bertahan dari kekerasan dan penderitaan yang menimpanya. Namun dari pengalaman saya, ide survivor membuka ruang untuk terjebak pada kesalahan mengarahkan diri. Mengapa ini terjadi? Karena konsentrasinya hanya bertahan sehingga memberi toleransi besar pada pihak yang mau mengambil keuntungan.
Karena itu membangkitkan misi korban untuk menjadi pemenang dengan bangkit dari keterpurukannya adalah kunci pemberdayaan yang seharusnya kita lakukan. Pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang kita agung-agungkan selama ini bisa jadi adalah jebakan untuk menghindari transformasi dan loncatan perubahan.
Saya tulis demikian tidak berarti bahwa saya menentang pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah penemuan manusia terbaik dalam melindungi setiap individu yang ada dari kekerasan dan eksploitasi. Namun membantu korban untuk melakukan transformasi dan loncatan perkembangan adalah yang esensial. Suasana sosial bersama untuk menjadikan korban sebagai pemenang harus kita ciptakan. Di ruang agama hal ini telah dilakukan. (esh)